PENGUMUMAN: Dibuka pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kabupaten Tegal, mulai 1 Januari s/d 28 Februari 2013. Info: Hubungi DPC PPP Kabupaten Tegal, telp.(0283)3275717 | Eko Mahendra Ridho

Follow Us

HEADLINE NEWS

DPC PPP Kabupaten Tegal ©2008-2012 All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Baca lainnya »
Tampilkan postingan dengan label TOKOH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TOKOH. Tampilkan semua postingan

H. Ismail Hasan Metareum, SH

04 Januari 2008


Perginya Sosok Teduh, Buya Ismail Hasan Metareum

Azan zuhur baru saja diserukan muazin, suaranya memancar dari menara. Keranda yang dipanggul pelan-pelan meninggalkan rumah yang berada di kompleks perumahan DPR Joglo, Jakarta Barat. "Semua yang bernapas akan mati," begitu arti untaian huruf Arab yang menempel kain bagian sisi keranda.
Di dalam keranda itu, jasad bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ismail Hasan Metareum dibaringkan tenang. Sabtu pekan lalu, saat jarum jam menunjuk 04.50 subuh, Buya meninggalkan fananya dunia setelah sepekan dirawat di Rumah Sakit Pelni Petamburan, Jakarta.

Teungku Cik-demikian orang Aceh memanggilnya sebagai penghormatan untuk ulama besar-belakangan memang sakit-sakitan. Bahkan cuci darah, yang telah dijalani selama ini akibat penyakit gagal ginjal, tak mampu menolak takdir akhirnya, pekan lalu.

Siang itu, seusai disembahyangi di Masjid Quba Joglo, jenazah Buya dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Sejumlah tokoh politik, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melayat di rumah duka. "Kita kehilangan tokoh besar dalam pentas politik Indonesia," ujar Ketua Umum PPP Hamzah Haz.

Di mata Hamzah, Buya adalah sosok rendah hati dan berusaha tak mau menyakiti siapa pun. Juga terhadap diri Hamzah, walau sempat bersaing memperebutkan pimpinan tertinggi di Partai Ka'bah. Senada dengan Hamzah, bekas anggota DPR dari PPP Zain Badjeber memotret Buya Ismail sebagai sosok teduh. "Jika bicara, ia pelan, pidatonya tidak berapi-api," katanya kepada Tempo.

Meski penampilannya tenang, kalem, menurut Zain, bukan berarti Buya seorang penakut. Ia mencontohkan bagaimana kerasnya suara PPP mempersoalkan kecurangan yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap hasil Pemilu 1992 di sejumlah daerah. Semua protes itu disuarakan lantang oleh Buya, padahal ketika itu situasi politik dan pemerintah dianggap masih represif. Alhasil, orang dekat Soeharto yang bekerja di Sekretariat Negara dan kelak menjadi menteri agama meneleponnya. "Intinya, Pak Ismail Hasan diminta untuk tidak neko-neko," kata Zain Badjeber sambil mengingat-ingat masa silam.

Ketika itu, masih menurut Zain, Buya menjawab teror itu dengan tenang, "Pemerintah jangan campur tangan. Ini urusan partai kami," tutur Zain Badjeber.

Pada Pemilu 1997, Buya kembali menunjukkan bukan sekadar ayam sayur dalam menghadapi penguasa Orde Baru. PPP kembali bersuara lantang mempersoalkan penyimpangan dan kecurangan selama pemilu oleh aparat penyelenggara, yang mengakibatkan kualitas pemilu buruk. Walau, setelah itu, seraya meminta maaf kepada pendukungnya, ia meneken hasil pemilu.

Buya dilahirkan dalam keluarga ulama di Metareum, Sigli, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, pada 4 April 1929. Ayahnya, Teungku Hasan, memimpin pesantren di sana. Setelah menamatkan sekolah dasar dan lanjutan pertamanya di Aceh, ia melanjutkan sekolah lanjutan atas di Jakarta. Selesai SMA, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai lulus.

Ismail remaja pernah menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) Banda Aceh. Setelah pindah ke Jakarta, ia dipercaya menjadi Wakil Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Jakarta. Ia pun melebarkan sayap aktivitas organisasinya dengan bergabung ke Himpunan Mahasiswa Islam. Di organisasi ini, ia pernah duduk sebagai wakil ketua umum dan bahkan ketua umum. Pada saat bersamaan, tahun 1955-1960, ia Ketua Komite Kerja Pemuda Islam In-donesia.

Karier politik dimulainya saat bergabung Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjelang Pemilu 1971. Pada tahun yang sama ia terpilih sebagai anggota DPR. Ia pernah menduduki Wakil Ketua DPR/MPR. Buya juga dikenal sebagai guru. Ia pernah menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Tahun 1984, Buya terpilih Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan hingga 1994. Dari perolehan kursi DPR, kepemimpinan Buya Ismail pun terbilang sukses. PPP mampu menambah jumlah kursi di DPR dari 61 menjadi 62 kursi (pada Pemilu 1992) dan melonjak dari 62 kursi menjadi 89 kursi (Pemilu 1997).

Biodata:
Nama : Ismail Hasan Metareum, SH
Lahir : Sigli, Aceh 4 April 1929
Meninggal : Jakarta, Sabtu 2 April 2005
Agama : Islam
Isteri : Mariani (Nikah 1959)

Anak :
Ratna Zahara
Nasaruddin
Hilman
Mustafa Basri
Taufiqurrahman

Jabatan Terakhir:
Wakil Ketua DPR/MPR

Pendidikan:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Pekerjaan:
  1. Dosen/Dekan Fakultas Hukum Universitas Trisakti
  2. Anggota DPR RI
  3. Sekretaris Fraksi PPP
  4. Penasihat Fraksi PPP
  5. Ketua Komisi
  6. Ketua DPR/MPR

Organisasi:
  1. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) dua periode 1989 hingga 1998
  2. Ketua Umum HMI (1957-1960)

Kegiatan Lain:
  1. Pemrakarsa Forum Keprihatinan untuk Aceh (1999)
  2. Penasihat Taman Iskandar Muda (komunitas masyarakat Aceh) di Jabotabek.
Penasihat Khusus Delegasi Indonesia pada Sidang Umum PBB di New York, AS (1978).

KH. Maimun Zubair

03 Januari 2008


KH. MAIMUN ZUBAIR
Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudera ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk ngangsu kaweruh yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

Matahari dari Sarang
Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, bahtsul masail diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik.

Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah K.H. Maimoen Zoebair.

Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da subuh dan ashar, Mbah Maimoen masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren.

Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi. Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya.

Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Beliau memang sesepuh PPP yang secara struktural menjabat Ketua Majelis Syari’ah DPP PPP. Sebuah lembaga PPP yang yang sangat fital bagi sebuah partai yang berasas Islam.

Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti K.H. Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), dan masih banyak lagi.

Selain mengajar, berdakwah dan aktif di PPP, Beliau masih sempat menulis kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya, antara lain, Jawharut Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah, Syarah ‘Imriti. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan Pesantren Al-Anwar.

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Amin.***

Hj. Aisyah Aminy, SH


Perempuan Baja Vokalis Senayan
Di saat dunia politik dimonopoli kaum laki-laki, ia tampil ke depan. Bukan saja seorang parlementarian yang terampil berdebat, ia juga seorang pejuang gender yang tak kenal lelah. Siapapun yang melek politik, pasti mengenal nama Hj. Aisyah Aminy, SH, di kancah perpolitikan Tanah Air. Bertahun-tahun berkecimpung di dunia partai dan legislatif, perempuan ini punya banyak nama julukan. Singa Betina dari Senayan, Perempuan Baja dari Senayan, Vokalis DPR dan sebagainya.

Politisi wanita kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menerima anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kmerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004.

Walau sudah memasuki usia anugerah di atas 70 tahun, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 1 Desember 1931 ini masih tetap lantang memperjuangkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya termasuk jatah kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dia, bersama tokoh-tokoh wanita lainnya mendirikan Kaukus Perempuan untuk tujuan dimaksud.

Ia tampak tak keberatan. Dalam pemikirannya hanyalah bagaimana dirinya dapat mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin untuk bangsa dan negara.

Selain kiprahnya di dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang turut dibesarkannya, ia juga punya peran yang sangat besar di bidang emansipasi perempuan. Ketika isu gender baru mencuat, nama Aisyah bahkan sudah duluan disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah publik.

Hal itu tidak mengherankan, karena sejak baru belajar berorganisasi, Aisyah sudah merasakan ketidakseimbangan peran perempuan di luar bidang domestik atau rumah tangga. Aisyah ingin perempuan juga punya kesempatan yang sama dalam segala bidang. Maka, ia pun berjuang memasukkan pasal-pasal kesetaraan gender dalam berbagai rancangan undang-undang maupun dalam prinsip-prinsip partainya yang bernafaskan Islam.

Aisyah dididik keluarganya dalam lingkungan yang religius, yang terus terbawa dalam setiap tindakan, prinsip dan pemikirannya sampai masa tuanya.

Sejak muda, Aisyah sudah belajar berorganisasi. Di masa perang kemerdekaan, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP), bahkan menjadi wartawan perang Sumatera Tengah. Kemudian, Aisyah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang dideklarasikan 5 Februari 1947 di kampus Universitas Islam Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia/UII) dimana ia menuntut ilmu.

Dedikasinya untuk kemajuan bangsa diwujudkan dengan menyisihkan waktu menjadi guru di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Puteri Yogyakarta. Tahun 1955, ia juga mengajar di SMA Puteri Yogyakarta dan menjadi dosen di Universitas Tjokroaminoto Yogyakarta dua tahun kemudian. Meski sibuk mengajar, perkuliahannya tidak terganggu. Tahun 1957, ia lulus dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum).

Aisyah juga dikenal dekat dengan para tokoh nasional. Selain dengan Mr. Mohammad Roem, di mana Aisyah menjadi anggota tim advokasinya, juga dekat dengan Buya HAMKA.

Pada bulan April, ia bersama Anwar Haryono SH, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto SH, Dr A Halim, Hasjim Mahdan SH, Harjono Tjitrosubono SH, Hadely Hasibuan SH, Padmo Susanto SH, Sudjono SH, Suroto SH, Drs Syarif Usman, Dr AM Tambunan SH dan Thamrin Manan SH, mendirikan lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM).

Kiprah di Parlemen
Pada tanggal 20 Februari 1968, Presiden Soeharto mengesahkan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini menampung aspirasi ormas-ormas Islam, misalnya Muhammadiyah, Jamiyatul Wasliyah, Gasbindo, Persatuan Guru-guru Agama Seluruh Indonesia, bahkan Wanita Islam.

Sejak awal, Aisyah terlibat dalam pembentukan Parmusi yang saat itu ketua umumnya adalah Moh. Roem. Aisyah masuk dalam kepengurusannya sampai 1970, saat kepemimpinan diambil-alih J Naro.

Tahun 1973, empat partai Islam (termasuk Parmusi) difusikan ke dalam PPP. Karena keaktifan Aisyah di Parmusi, kemudian PPP, membawanya ke kancah perpolitikan di Senayan, sebagai anggota MPR RI periode 1977-1987.

Bersama fraksinya ketika itu, Aisyah ikut menentang Rancangan Ketetapan MPR No. II tahun 1978. Alasannya, jika Rantap itu menjadi Tap MPR, masyarakat akan mengkeramatkan Pancasila secara berlebihan dan mengesampingkan agama yang dianutnya.

Periode 1987-1992, Aisyah menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia duduk di Komisi II yang membidangi masalah politik dalam negeri dan pertanahan. Di masa jabatannya ini, Aisyah banyak melontarkan kritik terhadap pemerintah, di antaranya disampaikan langsung dalam dialognya dengan Menteri Dalam Negeri, agar pemerintah tidak memaksa rakyat memilih Golkar.

Memang, akibat pemaksaan kehendak ini, dampaknya sangat terasa terhadap PPP. Dari soal mempersulit mengambil rapor anak sampai teror dialami para kader PPP. Hal inilah yang ditentang Aisyah ketika itu. Sebab, jelas-jelas terlihat ada upaya pengerdilan PPP secara sistematis, sehingga sulit mengembangkan partai dan merekrut kader-kader baru.

Aisyah dan partainya juga menentang keharusan pegawai negeri memilih Golkar dan larangan pemerintah kepada partai-partai politik untuk berkiprah di desa-desa, kecuali Golkar.

Bukan Aisyah namanya kalau ia tidak berusaha untuk mengembangkan pemikirannya di tataran yang lebih tinggi. Pada proses penyiapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Aisyah sering diundang Sekjen Wakahamnas. Di masa Orde Baru, GBHN selalu berasal dari presiden. Begitu GBHN masuk dalam tingkat pembahasan di MPR, akan sulit mengubahnya. Sebelumnya ide-ide tentang GBHN ini didiskusikan dulu pada pertemuan terbatas dengan ormas, partai-partai politik, kalangan birokrasi dan kalangan kampus oleh Wakahamnas.

Lewat pembahasan-pembahasan itulah Aisyah berusaha memasukkan ide-idenya ke dalam GBHN. Namun saking sulitnya, kalau pun ide-ide itu masuk, hanya sebatas hal-hal yang umum dan bukan hal-hal strategis.

Salah satu yang disoroti Aisyah dan fraksinya ketika itu adalah Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. F-PP menginginkan GBHN menitikberatkan pada pemerataan. Tapi pemerintah malah menitikberatkan pertumbuhan, yang ditandai dengan pembangunan di kota-kota besar dengan peningkatan sampai tujuh persen.

Padahal, menurut Aisyah, daerah-daerah justru sangat tertinggal pertumbuhannya dan perekonomiannya sangat rendah. Itulah sebabnya, ia lebih setuju jika yang dikedepankan adalah pemerataan.

Aisyah bahkan mengangkat isu transmigrasi yang ketika itu sedang digalakkan pemerintah. Menurutnya, sentralisasi pembangunan di Jawa membuat program transmigrasi tidak berhasil, karena lebih banyak orang daerah yang datang ke Jawa dibandingkan orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah.

Masih belum cukup, perempuan yang pernah menjadi anggota Komnas HAM ini mengkritik masalah pertanahan, dimana pemerintah seringkali mengambil paksa tanah rakyat tanpa ganti rugi. Juga dikritiknya gaji pegawai negeri yang rendah. Gaji yang tidak mencukupi kebutuhan ini menjadi pemicu korupsi.

Masih Dipercaya
Tahun 1992-1997, Aisyah dipercaya lagi sebagai anggota DPR/MPR RI dan duduk di Komisi I. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan dipercaya sebagai ketua Komisi I yang ketika itu membidangi pertahanan, keamanan, luar negeri dan penerangan.

Periode 1997-1999, ia kembali dipercaya sebagai ketua Komisi I. Hal ini amat berkesan bagi dirinya, karena komisi ini terkenal ‘berat’ dan ia adalah perempuan pertama yang menjadi ketua komisi ini. Apalagi dirinya berasal dari partai Islam, yang seringkali menimbulkan kesan kurang memberikan kesempatan pada kaum perempuan.

Selama di Komisi I, Aisyah banyak melontarkan kritik, saran dan gugatan. Suaranya yang lantang dan argumentasinya yang tajam dalam rapat-rapat komisi maupun rapat pleno sangat dikenal. Bahkan, orang tidak perlu melihat siapa yang berbicara, karena sudah mengenal suara dan gaya bicaranya.

Aisyah mengkritik tindakan represif TNI di Aceh dan Papua, tempat-tempat perjudian yang di-backing pejabat dan aparat keamanan, peredaran Narkoba, bahkan UU Pers, khususnya Peraturan Menteri Penerangan No. 10 tahun 1984 yang memasung kebebasan pers, juga undang-undang perfilman yang menyulitkan para sineas berkreasi. Ia bahkan dengan berani mengkritik kenetralan TNI/Polri (dulu masih bernama ABRI) yang kala itu sangat memihak Golkar. Tak tanggung-tanggung, kritik itu disampaikan langsung saat pertemuan pimpinan partainya dengan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno.

Kawan-kawannya mengenal Aisyah sebagai anggota Dewan yang sering turun langsung ke daerah. Di sana, ia bertemu langsung dengan rakyat dan mendengarkan keluhan mereka. Semua itu tidak hanya diendapkan, melainkan langsung didiskusikan dan dicari solusinya bersama kawan-kawannya di DPR.

Setelah tidak menjadi ketua Komisi I DPR/MPR, periode 1999-2004, Aisyah dipercaya F-PP duduk dalam Badan Pekerja MPR sebagai wakil ketua Panitia Ad Hoc II, yang mempersiapkan rancangan ketetapan-ketetapan selain GBHN dan Perubahan UUD 1945.

Mencermati peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia, tampaklah bahwa Aisyah Aminy selalu hadir di dalamnya sebagai komponen yang ikut berjuang dan berperan serta. Ia menjadi saksi sejarah sejak zaman penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.

Ia pejuang kemerdekaan, aktivis di masa Orde Lama, ikut meletakkan dasar Orde Baru sekaligus mengkritisinya. Ia menjadi saksi pergantian lima presiden Republik Indonesia, sejak zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Aisyah Aminy adalah perempuan baja yang tegar dan konsisten dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya.

BIODATA:
Nama : Hj. Aisyah Aminy, SH
Lahir : Padang Panjang, Sumatera Barat, 1 Desember 1931
Agama : Islam
Suami : Drs. Desril Kamal

Pendidikan:
- SD Negeri, Padang Panjang, Sumatera Barat, tahun 1942
- SMP Negeri, Padang Panjang, Sumatera Barat, tahun 1946
- SMA Negeri, Padang Panjang, Sumatera Barat, tahun 1950
- Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, tahun 1957

Pekerjaan:
- Guru PGAA, di Yogyakarta, 1954
- Guru SMA Puteri Yogyakarta, 1955-1957
- Dosen di Universitas Cokroaminoto, 1957-1958
- Dosen di Universitas Ibnu Chaldun, 1960-1961
- Kepala Bagian Hukum Jakarta Fair (PRJ), 1969-1988
- Advokat, dari tahun 1959 sampai sekarang
- Anggota DPR/MPR, 1987 – 2004
- Ketua Komisi I DPR RI, 1992-1999
- Wakil Ketua Panitia Ad Hoc II BP MPR RI, 1999-2004

Kegiatan Organisasi:
- Anggota Ikadin
- Ketua PII Wati 1950-1953
- Ketua Wanita Islam Pusat 1975-1985
- Anggota Dewan Film Nasional, 1979-1984
- Ketua Dewan Pimpinan Kowani, 1979-1988
- Anggota Komisi Fatwa MUI, 1989-sekarang
- Anggota DPP Partai Persatuan Pembangunan sampai sekarang
- Anggota KOMNAS HAM, 1993-sekarang
- Penasehat PP Wanita Islam, 1985-sekarang
- Komisaris Persahi Pusat sampai sekarang
- Anggota Dewan Penyantun Gebu Minang, 2001-sekarang
- Anggota Dewan Penasehat ICMI, 2001-sekarang

Penghargaan:
- Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kmerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004.

Alamat Rumah:
Jalan Pulo Asem Raya No. 1, Rawamangun, Jakarta Timur
Telp. 021-4893022
E-mail: aisyah@tokoh.net

DR. H. Hamzah Haz


Hamzah Haz, politisi kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940, memulai karir politiknya pada 1967. Hamzah menjadi anggota DPRD mewakili mahasiswa dan Angkatan 66.

Ketika memenangi pemungutan suara dalam pemilihan Ketua DPRD Kalimantan Barat. Dia ditolak menduduki kursi ketua DPRD oleh Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri. Amir Machmud berkehendak agar yang menduduki posisi itu wakil dari ABRI, bukan Hamzah yang berlatar belakang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Nahdlatul Ulama (NU).

Kebuntuan mewarnai kepemimpinan DPRD Kalbar. Akhirnya dilontarkan jalan keluar, Hamzah bisa duduk di jajaran kepemimpinan DPRD bila Wakil Ketua DPRD yang berasal dari unsur Partai NU ditarik. Hamzah menolak dengan tegas gagasan itu. Menurutnya itu menohok kawan seiring, seperti yang dituturkannya dalam biografi Hamzah Haz: Konsistensi dan Integritas Perjuangan di Bawah Panji-panji Ka’bah.

Tidak hanya itu, Hamzah bahkan harus merelakan posisinya sebagai anggota DPRD Kalbar karena dipaksa oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No 12/1971 tentang Pemurnian Golongan Karya, yang meminta agar wakil Angkatan 66 masuk Golkar atau berhenti sebagai wakil rakyat. Hamzah memilih berhenti dan memilih NU daripada masuk Golkar.

Hamzah memang telah menambatkan hatinya kepada NU, sejak awal karirnya di kancah organisasi dan politik. Meskipun dia berseberangan dengan ayahnya, H. Abdullah Ahmad, aktivis Partai Masyumi dan pengurus Parmusi Cabang Ketapang, Kalimantan Barat.

Jejaknya menapaki karir politik bermula dari kiprahnya mendirikan PMII Komisariat Akademi Koperasi Negara di Yogyakarta, dan sekaligus menjadi ketua umum pertamanya, saat dia menjadi mahasiswa di sana.

Kiprahnya dalam organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU ini berlanjut. Dia kemudian menjadi Ketua Koordinator Cabang PMII Kalbar, lalu menjadi Sekretaris NU Cabang Ketapang, Kalbar, saat usianya baru menginjak 20 tahun. Dalam usia itu dia menjadi Wakil Ketua NU Cabang Ketapang, berlanjut menjadi Wakil Ketua Tanfidziah PWNU Kalbar. Di luar komunitas NU, Hamzah muda menjadi Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Kalbar.

Langkahnya tidak berhenti hanya di wilayah Kalbar. Pada 1971 Hamzah mulai memasuki Gedung DPR Senayan, Jakarta, mewakili Partai NU dari daerah pemilihan Kalbar. Saat itu usianya baru menapak bilangan 30 tahun. Menurutnya dengan kemampuan tak sebanding dengan tokoh-tokoh anggota DPR lainnya, dia merasa seperti rusa masuk kampung.

Ketika pemerintah Orde Baru melakukan konsolidasi sistem sosial dan politik dengan, antara lain, melakukan penyederhanaan partai politik melalui fusi partai, maka NU bersama tiga partai Islam lainnya, PSII, Perti, dan Parmusi melakukan fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Juli 1973. Hamzah pun menjadi bagian dari PPP. Dan, sejak saat itu namanya tidak pernah absen dari daftar anggota legislatif dari PPP.

Selama 29 tahun Hamzah berkiprah di DPR, mulai dari menjadi anggota biasa, Ketua Fraksi PPP DPR, hingga menjadi Wakil Ketua DPR 1999. Perjalanan pun mengantarkannya menjadi Wakil Presiden RI, melalui pemungutan suara dalam Sidang Istimewa MPR 2001.

Seiring dengan itu, perjalanannya di kepengurusan partai pun mendaki anak tangga demi anak tangga, hingga pada Muktamar PPP 1998, Hamzah dinobatkan menjadi Ketua Umum DPP PPP, dan posisi itu kembali dipercayakan kepadanya pada Muktamar PPP 2003.

Menyimak perjalanannya, tidak berlebihan kiranya bila Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyebut Hamzah adalah old crack politician (politisi kawakan). Politisi yang sudah lama malang melintang dalam kancah pergumulan politik Indonesia. Tidak hanya itu, Hamzah adalah politician par excellence karena perhatian, wacana, kiprah, dan kesehariannya terkait dengan politik.

Hamzah menjadi satu dari sedikit gambar tentang bagaimana seharusnya karir politik ditempuh bagi mereka yang berminat menjadi politisi karir, yaitu merangkak dari tangga terbawah hingga mencapai tingkat karir tertinggi. Bukan politisi dadakan, yang secara instan bertransformasi dari kiai menjadi politisi, atau dari ilmuwan menjadi politisi, atau dari artis menjadi politisi.

Sepanjang merintis karir sebagai anggota DPR, dia memiliki kemampuan yang spesifik. Dia menekuni seluk-beluk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan segala kerumitan yang menyertainya. Dan, dia terbukti berhasil dalam hal ini sehingga rekan-rekannya di DPR maupun pers ketika itu menjulukinya ‘Ayatullah APBN’.

Tidak hanya sangat paham, Hamzah juga dapat menyosialisasikan pengetahuannya itu kepada masyarakat. Bersama dengan rekannya, Umar Basalim, Hamzah menyampaikan kerumitan APBN kepada masyarakat dalam bahasa yang sederhana, yang dapat dimengerti oleh awam melalui media massa nasional.

Sebelum menjalani karir sebagai politisi, Hamzah menjadi bagian dari dunia pers Indonesia. Dia pernah menjadi wartawan koran Bebas yang terbit di Pontianak, serta pendiri Surat Kabar Berita Pawan yang terbit di Ketapang, Kalbar, dan Harian KAMI Kalimantan Barat. Sepenggal perjalanan hidupnya inilah yang membuatnya selalu berempati pada profesi wartawan. Hamzah hampir tidak pernah menolak keinginan wartawan yang ingin wawancara atau meminta pendapatnya tentang berbagai persoalan. Ketatnya pengawalan dan aturan protokoler yang diberlakukan kepadanya sebagai wakil presiden seolah tidak berlaku lagi kala wartawan ingin meminta komentarnya.

Pembawaan Hamzah yang tawadu, akomodatif, dan cenderung menjauhi konflik di satu sisi memang menjadi kekuatannya. Tetapi, di sisi lain sifatnya itu acapkali membuatnya seolah “pasrah” terhadap keadaan. Seperti ketika konsepnya tentang pemulihan ekonomi yang disampaikannya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri tidak juga mendapat tanggapan, Hamzah tidak pernah “mendesak” lebih lanjut. Begitu pula terhadap pertanyaan tentang pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden.

Sumber: http://www.isai.or.id/

KH. Dr. Idham Khalid


Nama : KH. Dr. Idham Khalid
Lahir : Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1922
Alamat : Jalan Fatmawati,Komp.Darul Ma'arif Jakarta Selatan
Penghargaan : Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, Mesir.

Jabatan Penting :
  • Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU)
  • Ketua Partai Masyumi
  • Pendiri/Ketua Partai NU
  • Pendiri/Ketua Partai Persatuan Pembangunan ( PPP)
  • Wakil Perdana Menteri Indonesia
  • Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR
  • Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
  • Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembangunan I (1968-1973)
  • Menteri Sosial
  • Tim Penasehat Presiden, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)

KH Idham Khalid kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia seorang tokoh Indonesia yang pernah menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.

Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis. Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.

Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya.

Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Khalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.

Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.

Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi berjudul "Idham Khalid: Guru Politik Orang NU" yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air.

"Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke temapat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia. (Hal 55)

Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air, Idham Khalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi: "Napak Tilas Pengabdian Idham Khalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah", di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.

Buku otobiografi Idham Khalid itu diterbitkan Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) yang dipimpin Arief Mudatsir Mandan, yang juga anggota Komisi I DPR dari PPP, juga selaku editor buku tersebut. Idham Chalid sendiri tengah terbaring sakit di rumahnya Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.

“Saya kira tidak ada tokoh yang bisa seperti beliau. Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP,” kata Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi sosok Idham Khalid, saat memberi sambutan pada acara peluncuran buku tersebut.

”Beliau itu moderat, bisa diterima di ’segala cuaca’, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia berada di tengah titik ekstrem yang ada,” ujar Kalla dihadapan sejumlah undangan, antara lain Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan sejumlah anggota kabinet dan DPR.

Menurut Jusuf Kalla, sikapnya yang moderat hanya bisa dijalankan oleh orang yang santun. "Hanya orang santunlah yang bisa bersikap moderat,” puji Jusuf Kalla untuk menegaskan bahwa Idham Khalid merupakan sosok ulama dan politisi yang moderat dan santun. Itulah sebabnya, ia bisa diterima di berbagai era politik dan kepemimpinan bangsa.

Menurut Wapres, jika berada di titik yang sama ekstremnya, maka selain demokrat, sosok politik orang yang menjalani itu sudah pasti santun. ”Karena itu, sikap yang santun bisa menjaga suasana kemoderatan,” katanya.

Idham Khalid yang memulai karir politik dari anggota DPRD Kalsel, seorang ulama karismatik, yang selama 28 tahun memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada era pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto dan mantan Ketua DPR/MPR. Idham juga pernah menjadi Ketua Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai Nahdlatul Ulama dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara itu, editor buku, Arief Mudatsir Mandan, mengemukakan, Idham Khalid satu-satunya Ketua Umum PBNU yang paling lama dan bukan ”berdarah biru” NU. Menurutnya, selama kepemimpinan Idham, NU tidak pernah bergejolak. Kendati ia sering dinilai lemah, tetapi sebenarnya itulah strateginya sehingga bisa diterima berbagai zaman,” ujar Arief Mudatsir Mandan.

Riwayat Hidup KH.Dr. Idham Khalid
Idham Khalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.

Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Idham tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.

Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karier yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.

Selain itu, Idham juga tercatat sebagai “Bapak” pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.

Alamarhum memiliki pengabdian dan pengalaman yang begitu beragam. Setidak Idham Cholid yang telah memimpin NU selama 28 tahun ini dalam karirnya selalu berada dalam tiga sosok, yaitu ketua NU sebagai ormas, NU sebagai parpol dan sebagai pejabat negera. Dia juga pernah memimpin tiga partai yaitu Masyumi, NU dan PPP.

Kiai Idham Chalid pernah menduduki tiga jabatan menteri, yaitu wakil perdana menteri, menkopolkam, dan menteri sosial. Di posisi legislatif, ia juga menduduki berbagai jabatan mulai dari anggota DPRD Kalsel, DPR dan MPR.

Mengenai kemampuannya membawa NU dalam berbagai situasi, hal ini dikarenakan ia merupakan orang moderat yang selalu berada ditengah, disertai sikap kesantunan sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Kiai Idham Chalid juga telah berhasil membawa NU keluar dari masa-masa pelik, bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda dengan dinamika politik yang luar biasa.

KH Idham Khalid Bukan Hanya Milik Warga NU
Meninggalnya KH Idham Chalid (88) menjadi kehilangan besar bagi warga NU se-Indonesia. Baik semasa Orla maupun Orba, Idham Chalid selalu mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Menurut tokoh NU Kabupaten Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), mengemukakan, almarhum telah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Dia juga berjasa besar bagi pengembangan organisasi NU maupun partai yang pernah berafiliasi dengan NU seperti PPP.

“Beliau adalah tokoh panutan kami. Bangsa Indonesia kehilangan sosok dia karena beliau telah mewarnai sejarah bangsa ini lewat kiprahnya,” kata Gus Yusuf, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, kemarin.

Idham Chalid meninggal dunia pada Minggu (11/7), sekitar pukul 08.00 WIB, di rumah duka Pondok Pesantren Daarul Maarif, Cipete, Jakarta Selatan. 10 tahun terakhir dia harus berjuang melawan serangan jantung dan stroke.

Rencananya, jenazah akan dimakamkan Senin (12/7) di Ponpes Darul Quran, milik keluarga, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat karena menunggu kehadiran sebagian putra-putri dan sanak saudara yang tinggal baik di Kalimantan Selatan maupun berbagai daerah lain di Tanah Air.

Perjuangkan Idealisme
Semasa hidupnya, KH Idham Chalid selalu memperjuangkan idealismenya bagi kemajuan bangsa dan negara tanpa meninggalkan posisi dirinya sebagai seorang kiai. Di tengah himpitan situasi politik terutama masa Orde Baru, dia memerankan diri sebagai politisi ulung namun tetap kukuh sebagai seorang kiai.

“Dia tidak meninggalkan jati diri sebagai ulama NU. Hal ini karena dia berpolitik dilandasi ketekunan menjalankan ibadah,” lanjut Gus Yusuf.

Karena itu, Gus Yusuf tak ragu menyebut Chalid sebagai pribadi yang seimbang antara kepentingan rohani dengan duniawi. “Tidak seperti politikus saat ini yang sibuk dengan urusan-urusan politik tetapi tidak menjalankan secara konsekuen ibadahnya,” kritik tokoh seniman Komunitas Lima Gunung Magelang ini.***
Baca lainnya »
Baca lainnya »
 

© Copyright 2008-2013 DPC PPP Kabupaten Tegal | Design by Eko Mahendra Ridho | Powered by Blogger.com.